Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis vegetasi
adalah penarikan unit contoh atau sampel. Dalam pengukuruan dikenal dua jenis
pengukuran untuk mendapatkan informasi atau data yang diinginkan. Kedua jenis
pengukuran tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak (destructive
measures) dan pengukuran yang bersifat tidak merusak (non-destructive
measures).
Untuk keperluan penelitian agar hasil datanya dapat
dianggap sah (valid) secara statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran
tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit), apalagi bagi
seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas.
Dengan sampling, seorang peneliti/surveyor dapat memperoleh informasi/data yang
diinginkan lebih cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit
bila dibandingkan dengan inventarisasi penuh (metoda sensus) pada anggota suatu
populasi.
Untuk
kepentingan deskripsi vegetasi ada tiga macam parameter kuantitatif vegetasi
yang sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan
yaitu:
1. Kerapatan (density)
1. Kerapatan (density)
Kerapatan
adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu,
misalnya 100 individu/ha.
Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul suatu masalah sehubungan dengan efek tepi (side effect) dan life form (bentuk tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau bentuk vegetasi lainnya yang mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan lainnya umumnya tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang menjalar dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul suatu kesukaran dalam penghitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka kita harus membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe tumbuhan tersebut.
Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan dengan keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berada di tepi kuadrat, sehingga kita harus memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada dalam kuadrat atau di luar kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan perjanjian bahwa bila > 50% dari bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat, maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat dan tentunya barns dihitung pengukuran kerapatannya.
Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul suatu masalah sehubungan dengan efek tepi (side effect) dan life form (bentuk tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau bentuk vegetasi lainnya yang mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan lainnya umumnya tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang menjalar dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul suatu kesukaran dalam penghitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka kita harus membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe tumbuhan tersebut.
Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan dengan keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berada di tepi kuadrat, sehingga kita harus memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada dalam kuadrat atau di luar kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan perjanjian bahwa bila > 50% dari bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat, maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat dan tentunya barns dihitung pengukuran kerapatannya.
2. Frekwensi
Frekwensi
suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis
tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan
dalam besaran persentase. Misalnya jenis Avicennia marina (api-api)
ditemukan dalam 50 petak contoh dari 100 petak contoh yang dibuat, sehingga
frekwensi jenis api-api tersebut adalah 50/100 x 100% = 50%. Jadi dalam
penentuan frekwensi ini tidak ada counting, tetapi hanya suatu
perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.
3. Cover (Kelindungan)
Kelindungan
adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk tumbuhan.
Oleh karena itu, kelindungan selalu dinyatakan dalam satuan persen. Misalnya,
jenis Rhizophora apiculata (bakau) mempunyai proyeksi tajuk seluas 10 mZ
dalam suatu petak contoh seluas 100 m-, maka kelindungan jenis bakau tersebut
adalah 10/100 x 100% = 10%. Jumlah total kelindungan semua jenis tumbuhan dalam
suatu komunitas tumbuhan mungkin lebih dari 100%, karena sering proyeksi tajuk
dari satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya bertumpang tindih (overlapping). Sebagai
pengganti dari luasan areal tajuk, kelindungan bisa juga mengimplikasikan
proyeksi basal area pada suatu luasan permukaan tanah. Untuk mengukur/menduga
luasan tajuk dari vegetasi lapisan pohon, biasanya dilakukan dengan menggunakan
proyeksi tajuk dari pohon tersebut terhadap permukaan tanah dan luasannya
diukur dengan planimeter atau sistem dotgrid dengan kertas grafik. Cara lain
adalah dihitung dengan rumus :
Basal
area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh
tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan mengukur diameter batang. Dalam
hal ini, pengukuran diameter umumnya dilakukaii pada ketinggian 1.30 m dari
permukaan tanah (diameter setinggi data atau diameter at breast height,
DBf). Dalam pengukuran diameter pohon setinggi dada terdapat beberapa
ketentuan yang umumnya ditaati oleh para peneliti, yaitu:
- Bila pohon berada di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari permukaan tanah atau 1,3 m di atas permukaan tanah lereng sebelah atas pohon;
- Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m dari tanah, maka diameter diukur sedikit (di atas percabangan tersebut dan pohon tersebut dianggap sebagai satu individu seperti halnya kalau percabangan terjadi di atas ketinggian 1,3 m di alas tanah). Tetapi bila percabangan terjadi dibawah 1,3 m dari atas tanah, maka masing-masing batang diukur diametemya setinggi dada serta batang-batang tersebut dianggap sebagai individu masing-masing;
- Bila pohon berakar papan atau berbentuk tidak normal tepat pada atau melebihi setinggi dada, maka pengukuran diameter dilakukan di atas batas batang dari bentuk tidak normal; dan
- Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur bisa merupakan diameter di luar kulit pohon atau diameter dekat kulit pohon.
Dengan
asumsi bahwa penampang melintang batang suatu pohon berbentuk lingkaran, basal
area dari pohon tersebut dihitung dengan rumus:
BA
:
=
π . R 2
= ¼ π. D2
dimana:
BA
: Basal area
R : jari-jari lingkaran dari penampang lintang batang D : diameter batang pohon |
Konsep
basal area juga kadang-kadang diterapkan terhadap tumbuhan penutup tanah seperti
rumput, herba dan semak. Dalam hal ini basal area diukur dad luasan areal pucuk
dari tumbuhan tersebut dalam suatu luasan petak contoh tertentu yang dibuat.
Selain
kerapatan, frekwensi dan kelindungan (termasuk pengukuran diameter), parameter
kuantitatif lainnya yang biasa diukur adalah: tinggi potion, dan biomassa.
Dalam hal ini pengukuran tinggi pohon dalam penelitian ekologi hutan biasanya
dilakukan terhadap tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tinggi total pohon
adalah suatu jarak linier antara permukaan tanah dengan titik tajuk (suatu
titik tempat cabang pertama berada). Pengukuran tinggi pohon di lapangan dapat
dilakukan dengan Hypsometer, Abney level, Haga altimeter, Blume-Leigg
Altimeter, dan Suunto Clinometer. Sedangkan biomassa dapat diukur dalam bentuk
volume kayu seperti halnya dalam kegiatan inventarisasi hutan atau bisa juga
melalui pemanenan individu vegetasi, besarnsa dinyatakan dalam berat basah,
berat kering atau gram kalori (ash free dry weight) per satuan luas
areal tertentu. Beberapa kriteria struktural berbentuk pertumbuhan juga dapat
diukur yaitu ukuran daun, tebal kulit, dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan
parameter produktivitas seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan
diameter batang, dan seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan
diameter batang, dan lain-lain, dan parameter yang menggunakan tumbuhan secara
fungsional seperti ketahanan daun, reproduksi vegetasi, dan toleransi naungan.
Parameter vegetasi lain yang juga cukup penting diketahui adalah parameter
fisiologi seperti kecepatan transpirasi, kecepatan asimilasi bersih,
keseimbangan air dalam tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Selain itu ada saw
parameter vegetasi yang sangat periling dalam kaitannya dengan kelindungan dan
produktivitas yaitu leaf area index (indeks luasan daun). Indeks luasan
daun ini merupakan perbandingan antara total luasan daun dari suatu jenis pohon
atau suatu tegakan dalam satuan luas tertentu, dengan luasan permukaan tanah
tertentu, misalnya LAI (leaf area index) dari jenis bakau dalam zona
Bruguiera adalah 0,2 ha/ha atau misalnya LAI dari tegakan hutan mangrove di
Karawang adalah 3,9 ha/ha. Dalam hal ini hanya salah satu permukaan daun yang
diukur untuk mendapatkan LAI.
Dalam
penelitian ekologi hutan, biasanya para peneliti ingin mengetahui jenis
vegetasi dominan yang memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas
hutan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu komunitas
ini dapat diketahui dengan mengukur dominansi dari vegetasi tersebut. Ukuran
dominansi ini dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu:
- Biomassa dan volume dimana jenis tumbuhan yang dominan akan mempunyai biomassa dan volume lebih besar dibandingkan dengan jenisjenis lainnya;
- Kelindungan (cover) dan luas basal area;
- Indeks Nilai Penting (INP). Biasanya indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai Frekwensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), dan Dominansi Relatif (DR). Tetapi, untuk vegetasi yang besaran, parameter dominancinya tidak diukur (misal, dalam kasus pengukuran tingkat semai), maka INP bisa diperoleh dengan menjumlahkan KR dan FR saja; dan
- SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting. Besaran ini diperoleh dengan cara membagi indeks nilai penting dengan jumlah macam parameter yang digunakan.
Dalam
ilmu ekologi kuantitatif, pengukuran/pendugaan parameter - parameter vegetasi
tersebut di atas biasa dilakukan oleh para peneliti. Tetapi, untuk tujuan
deskripsi vegetasi biasanya hanya nilai kerapatan. Sedangkan dalam
bidang.inventarisasi hutan, ada satu parameter vegetasi lagi yang lazim diduga
yaitu volume pohon berdiri per satuan unit luas tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
- Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
- Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar