Rabu, 06 Juni 2012

PARAMETER KUANTITATIF DALAM DESKRIPSI VEGETASI


Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis vegetasi adalah penarikan unit contoh atau sampel. Dalam pengukuruan dikenal dua jenis pengukuran untuk mendapatkan informasi atau data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak (destructive measures) dan pengukuran yang bersifat tidak merusak (non-destructive measures).

Untuk keperluan penelitian agar hasil datanya dapat dianggap sah (valid) secara statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit), apalagi bagi seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas. Dengan sampling, seorang peneliti/surveyor dapat memperoleh informasi/data yang diinginkan lebih cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit bila dibandingkan dengan inventarisasi penuh (metoda sensus) pada anggota suatu populasi.   


Untuk kepentingan deskripsi vegetasi ada tiga macam parameter kuantitatif vegetasi yang sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan yaitu:

1. Kerapatan (density)
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha.
Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul suatu masalah sehubungan dengan efek tepi (side effect) dan life form (bentuk tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau bentuk vegetasi lainnya yang mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan lainnya umumnya tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang menjalar dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul suatu kesukaran dalam penghitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka kita harus membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe tumbuhan tersebut.
Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan dengan keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berada di tepi kuadrat, sehingga kita harus memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada dalam kuadrat atau di luar kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan perjanjian bahwa bila > 50% dari bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat, maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat dan tentunya barns dihitung pengukuran kerapatannya.
2. Frekwensi
Frekwensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran persentase.   Misalnya jenis Avicennia marina (api-api) ditemukan dalam 50 petak contoh dari 100 petak contoh yang dibuat, sehingga frekwensi jenis api-api tersebut adalah 50/100 x 100% = 50%. Jadi dalam penentuan frekwensi ini tidak ada counting, tetapi hanya suatu perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.
3. Cover (Kelindungan)
Kelindungan adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk tumbuhan. Oleh karena itu, kelindungan selalu dinyatakan dalam satuan persen. Misalnya, jenis Rhizophora apiculata (bakau) mempunyai proyeksi tajuk seluas 10 mZ dalam suatu petak contoh seluas 100 m-, maka kelindungan jenis bakau tersebut adalah 10/100 x 100% = 10%. Jumlah total kelindungan semua jenis tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan mungkin lebih dari 100%, karena sering proyeksi tajuk dari satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya bertumpang tindih (overlapping). Sebagai pengganti dari luasan areal tajuk, kelindungan bisa juga mengimplikasikan proyeksi basal area pada suatu luasan permukaan tanah. Untuk mengukur/menduga luasan tajuk dari vegetasi lapisan pohon, biasanya dilakukan dengan menggunakan proyeksi tajuk dari pohon tersebut terhadap permukaan tanah dan luasannya diukur dengan planimeter atau sistem dot­grid dengan kertas grafik. Cara lain adalah dihitung dengan rumus :
analisis vegetasi
Basal area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan mengukur diameter batang. Dalam hal ini, pengukuran diameter umumnya dilakukaii pada ketinggian 1.30 m dari permukaan tanah (diameter setinggi data atau diameter at breast height, DBf). Dalam pengukuran diameter pohon setinggi dada terdapat beberapa ketentuan yang umumnya ditaati oleh para peneliti, yaitu:
  • Bila pohon berada di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari permukaan tanah atau 1,3 m di atas permukaan tanah lereng sebelah atas pohon;
  • Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m dari tanah, maka diameter diukur sedikit (di atas percabangan tersebut dan pohon tersebut dianggap sebagai satu individu seperti halnya kalau percabangan terjadi di atas ketinggian 1,3 m di alas tanah). Tetapi bila percabangan terjadi dibawah 1,3 m dari atas tanah, maka masing-masing batang diukur diametemya setinggi dada serta batang-batang tersebut dianggap sebagai individu masing-masing;
  • Bila pohon berakar papan atau berbentuk tidak normal tepat pada atau melebihi setinggi dada, maka pengukuran diameter dilakukan di atas batas batang dari bentuk tidak normal; dan
  • Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur bisa merupakan diameter di luar kulit pohon atau diameter dekat kulit pohon.
Dengan asumsi bahwa penampang melintang batang suatu pohon berbentuk lingkaran, basal area dari pohon tersebut dihitung dengan rumus:
BA     :
=    π . R 2
=    ¼ π. D2
dimana: 
BA        :      Basal area
R          :      jari-jari lingkaran dari penampang lintang batang
D          :      diameter batang pohon
Konsep basal area juga kadang-kadang diterapkan terhadap tumbuhan penutup tanah seperti rumput, herba dan semak. Dalam hal ini basal area diukur dad luasan areal pucuk dari tumbuhan tersebut dalam suatu luasan petak contoh tertentu yang dibuat.
Selain kerapatan, frekwensi dan kelindungan (termasuk pengukuran diameter), parameter kuantitatif lainnya yang biasa diukur adalah: tinggi potion, dan biomassa. Dalam hal ini pengukuran tinggi pohon dalam penelitian ekologi hutan biasanya dilakukan terhadap tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tinggi total pohon adalah suatu jarak linier antara permukaan tanah dengan titik tajuk (suatu titik tempat cabang pertama berada). Pengukuran tinggi pohon di lapangan dapat dilakukan dengan Hypsometer, Abney level, Haga altimeter, Blume-Leigg Altimeter, dan Suunto Clinometer. Sedangkan biomassa dapat diukur dalam bentuk volume kayu seperti halnya dalam kegiatan inventarisasi hutan atau bisa juga melalui pemanenan individu vegetasi, besarnsa dinyatakan dalam berat basah, berat kering atau gram kalori (ash free dry weight) per satuan luas areal tertentu. Beberapa kriteria struktural berbentuk pertumbuhan juga dapat diukur yaitu ukuran daun, tebal kulit, dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan parameter produktivitas seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan diameter batang, dan seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan diameter batang, dan lain-lain, dan parameter yang menggunakan tumbuhan secara fungsional seperti ketahanan daun, reproduksi vegetasi, dan toleransi naungan. Parameter vegetasi lain yang juga cukup penting diketahui adalah parameter fisiologi seperti kecepatan transpirasi, kecepatan asimilasi bersih, keseimbangan air dalam tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Selain itu ada saw parameter vegetasi yang sangat periling dalam kaitannya dengan kelindungan dan produktivitas yaitu leaf area index (indeks luasan daun). Indeks luasan daun ini merupakan perbandingan antara total luasan daun dari suatu jenis pohon atau suatu tegakan dalam satuan luas tertentu, dengan luasan permukaan tanah tertentu, misalnya LAI (leaf area index) dari jenis bakau dalam zona Bruguiera adalah 0,2 ha/ha atau misalnya LAI dari tegakan hutan mangrove di Karawang adalah 3,9 ha/ha. Dalam hal ini hanya salah satu permukaan daun yang diukur untuk mendapatkan LAI.
Dalam penelitian ekologi hutan, biasanya para peneliti ingin mengetahui jenis vegetasi dominan yang memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu komunitas ini dapat diketahui dengan mengukur dominansi dari vegetasi tersebut. Ukuran dominansi ini dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu:
  • Biomassa dan volume dimana jenis tumbuhan yang dominan akan mempunyai biomassa dan volume lebih besar dibandingkan dengan jenis­jenis lainnya;
  • Kelindungan (cover) dan luas basal area;
  • Indeks Nilai Penting (INP). Biasanya indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai Frekwensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), dan Dominansi Relatif (DR). Tetapi, untuk vegetasi yang besaran, parameter dominancinya tidak diukur (misal, dalam kasus pengukuran tingkat semai), maka INP bisa diperoleh dengan menjumlahkan KR dan FR saja; dan
  • SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting. Besaran ini diperoleh dengan cara membagi indeks nilai penting dengan jumlah macam parameter yang digunakan.
Dalam ilmu ekologi kuantitatif, pengukuran/pendugaan parameter­ - parameter vegetasi tersebut di atas biasa dilakukan oleh para peneliti. Tetapi, untuk tujuan deskripsi vegetasi biasanya hanya nilai kerapatan. Sedangkan dalam bidang.inventarisasi hutan, ada satu parameter vegetasi lagi yang lazim diduga yaitu volume pohon berdiri per satuan unit luas tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  2. Soerianegara, I  dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor,  Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar